2. Perang Padri
Dilatarbelakangi
oleh perselisihan antara kaum adat dan kaum Padri di Minangkabau. Kaum Padri
sendiri merupakan sekolompok ulama yang baru kembali dari Timur Tengah dan
kembali untuk memurnikan ajaran Islam di daerah Minangkabau. Peran ini didasari
oleh konflik antara kaum adat dan kaum padri mengenai masalah penerapan syariat
di Tanah Minang. Kaum Padri berusaha untuk menghilangkan unsur adat karena
tidak sesuai dengan ajaran Islam, Unsur Adat tersebut antara lain kebiasaan
seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau,
sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya
pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Kaum Padri ini sendiri yang
melakukan hal tersebut merupakan suatu aliran dalam Islam. Kaum Padri sendiri
beraliran Islam Wahabi (Fundamentalis). Terjadilah bentrokan- bentrokan antara
keduanya. Karena terdesak, kaum adat minta bantuan kepada Belanda. Belanda
bersedia membantu kaum adat dengan imbalan sebagian wilayah Minangkabau.
Pasukan Padri dipimpin oleh Datuk Bandaro. Setelah beliau wafat diganti oleh
Tuanku Imam Bonjol. Pasukan Padri dengan taktik perang gerilya, berhasil
mengacaukan pasukan Belanda. Karena kewalahan, Belanda mengajak berunding.
Tanggal 22 Januari 1824 diadakan perjanjian Mosang dengan kaum Padri, namun
kemudian dilanggar oleh Belanda.
Tanggal 15
November 1825 diadakan perjanjian Padang. Kaum Padri diwakili oleh Tuanku Nan
Renceh dan Tuanku Pasaman. Seorang Arab, Said Salimuljafrid bertindak sebagai
perantara. Pada hakikatnya berulang-ulang Belanda mengadakan perjanjian itu
dilatarbelakangi kekuatannya yang tidak mampu menghadapi serangan kaum Padri,
di samping itu bantuan dari Jawa tidak dapat diharapkan, karena di Jawa sedang
pecah Perang Diponegoro. Tahun 1829 daerah kekuasaan kaum Padri telah meluas
sampai ke Batak Mandailing, Tapanuli. Di Natal, Tapanuli Baginda Marah Husein
minta bantuan kepada kaum Padri mengusir Gubernur Belanda di sana. Maka setelah
selesai perang Diponegoro, Natal di bawah pimpinan Tuanku Nan Cerdik dapat
mempertahankan serangan Belanda di sana. Tahun 1829 De Stuers digantikan oleh
Letnan Kolonel Elout, yang datang di Padang Maret Dengan bantuan Mayor
Michiels, Natal dapat direbut, sehingga Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol.
Sejak itu kampung demi kampung dapat direbut Belanda. Tahun 1932 datang bantuan
dari Jawa, di bawah Sentot Prawirodirjo. Dengan cepat Lintau, Bukit, Komang,
Bonjol, dan hampir seluruh daerah Agam dapat dikuasai oleh Belanda.
Melihat kenyataan ini baik kaum Adat maupun kaum Padri menyadari arti pentingnya pertahanan. Maka bersatulah mereka bersama-sama menghadapi penjajah Belanda. Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda, serangan ditujukan langsung ke benteng Bonjol. Membaca situasi yang gawat ini, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai. Belanda mengharapkan, bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Imam Bonjol berpendirian lain. Perundingan perdamaian ini adalah siasat mengulur waktu, agar dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar benteng. Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12 Agustus Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol, yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Komentar
Posting Komentar