Jalur-jalur perdagangan yang
berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi pada
saat itu dan perkembangan rute perdagangan dalam
setiap masa yang berbeda- beda. Jika
pada masa praaksara hegemoni budaya
dominan datang dari pendukung
budaya Austronesia dari Asia Tenggara Daratan. Pada masa
perkembangan Hindhu-Buddha di
Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara
dan India di bagian barat daya.
Keduanya merupakan dua kekuatan super power pada masanya dan pengaruhnya amat
besar terhadap penduduk di Kepulauan
Indonesia. Bagaimanapun,
peralihan rute perdagangan dunia ini telah
membawa berkah tersendiri bagi
masyarakat dan suku bangsa di Nusantara. Mereka secara langsung terintegrasikan ke dalam jalinan perdagangan dunia pada
masa itu. Selat Malaka menjadi penting
sebagai pintu gerbang
yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang
India. Pada masa itu Selat Malaka
merupakan jalur penting dalam pelayaran
dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandar- bandar penting di sekitar
Samudera Indonesia dan Teluk Persia. Selat itu merupakan jalan laut yang
menghubungkan Arab dan India di sebelah barat
laut Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur laut Nusantara. Jalur ini merupakan
pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”. Penamaan ini digunakan sejak abad ke-1
hingga ke-16 M, dengan komoditas kain sutera
yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain. Ramainya
rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur,
antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan
Kota Cina (Sumatra Utara sekarang).
Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur laut tersebut. Mereka menjadi lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin hubungan niaga dengan pedagang- pedagang asing yang melewati jalur itu. Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruh-pengaruh budaya luar. Kebudayaan India dan Cina ketika itu jelas sangat berpengaruh terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka. Bahkan sampai saat ini pengaruh budaya terutama India masih dapat kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka. Disamping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat selama masa Hindhu-Buddha. Jaringan dagang dan jaringan budaya antarkepulauan di Indonesia itu terutama terhubungkan oleh jaringan laut Jawa hingga kepulauan Maluku. Mereka secara tidak langsung juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra seperti Barus. Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada saat itu adalah rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkih, dan pala.
Pertumbuhan jaringan dagang
internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik baru di Nusantara. Peta
politik di Jawa dan Sumatra abad ke-7, seperti ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan
pengunjung Cina yang datang ke Sumatra. Dua negara di Sumatra
disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di
pantai timur, tepatnya di Jambi
sekarang di muara
Sungai Batanghari. Agak ke
selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa
sanskerta, Criwijaya. Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat
Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka
Purnawarman, di Jawa bagian tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di
Jawa bagian timur ada Singhasari dan
Majapahit. Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang memiliki kekuatan integrasi
secara politik, sejauh ini dihubungkan
dengan kebesaran Kerajaan
Sriwijaya, Singhasari, dan
Majapahit. Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya
adalah kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di
bawah kontrol politik secara longgar
dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuan-kesatuan politik di bawah pengawasan
dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan
demikian pengintegrasian
antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk.
Kerajaan utama yang disebutkan di
atas berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka mampu
mengontrol sejumlah wilayah Nusantara
melalui berbagai bentuk media. Selain dengan kekuatan dagang,
politik, juga kekuatan budayanya, termasuk
bahasa. Interelasi antara aspek-aspek
kekuatan tersebut yang membuat mereka berhasil mengintegrasikan
Nusantara dalam pelukan kekuasaannya.
Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang
menjadi kerajaan besar
yang menjadi representasi pusat-pusat kekuasaan yang kuat
dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara. Hubungan pusat
dan daerah hanya
dapat berlangsung dalam bentuk
hubungan hak dan kewajiban yang saling
menguntungkan (mutual benefit).
Keuntungan yang diperoleh dari
pusat kekuasaan antara lain, berupa
pengakuan simbolik seperti kesetiaan
dan pembayaran upeti berupa
barang-barang yang digunakan untuk
kepentingan kerajaan, serta
barang-barang yang dapat diperdagangkan
dalam jaringan perdagangan internasional. Sebaliknya
kerajaan-kerajaan kecil memperoleh perlindungan dan rasa aman, sekaligus
kebanggaan atas hubungan tersebut.Jika pusat kekuasaan sudah tidak
memiliki kemampuan dalam
mengontrol dan melindungi daerah bawahannya,maka sering terjadi pembangkangan
dan sejak itu kerajaan besar terancam disintegrasi. Kerajaan- kerajaan kecil lalu melepaskan diri dari ikatan politik dengan
kerajaan-kerajaan besar lama dan
beralih loyalitasnya dengan
kerajaan lain yang memiliki
kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi
kepentingan mereka. Sejarah Indonesia masa
Hindu-Buddha ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi
semacam itu. Namun secara keseluruhan proses
integrasi yang lambat
laun itu kian mantap dan kuat, sehingga
kian mengukuhkan Nusantara
sebagai negeri kepulauan yang
dipersatukan oleh kekuatan
politik dan perdagangan.
Komentar
Posting Komentar