Kesultanan Banten berawal
sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan
pesisir barat Pulau Jawa,
dengan menaklukan beberapa
kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya
sebagai pangkalan militer serta
kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan
Gunung Jati berperan
dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana
Hasanuddin atau lebih sohor
dengan sebutan Fatahillah,
mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan,
yakni Kesultanan Banten.
Pada awalnya kawasan
Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan
bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan
pasukan Kerajaan di bawah pimpinan
Maulana Hasanuddin ke kawasan
tersebut selain untuk
perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama
Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas
kekalahan mereka mengusir Portugis dari
Malaka tahun 1513.
Atas perintah Sultan Trenggono,
Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Sunda
Kelapa sekitar tahun
1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Fatahillah
juga melanjutkan perluasan
kekuasaan ke daerah penghasil
lada di Lampung.
Ia berperan dalam penyebaran Islam
di kawasan tersebut,
selain itu ia
juga telah melakukan kontak
dagang dengan raja Malangkabu
(Minangkabau, Kerajaan Inderapura),
Sultan Munawar Syah dan
dianugerahi keris oleh raja tersebut. Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Sultan Trenggono, maka Banten
melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Pada 1570 Fatahillah
wafat. Ia meninggalkan dua orang
putra laki-laki, yakni Pangeran Yusuf dan Pangeran Arya (Pangeran Jepara). Dinamakan Pangeran Jepara,
karena sejak kecil ia sudah
diikutkan kepada bibinya (Ratu
Kalinyamat) di Jepara. Ia kemudian
berkuasa di Jepara menggantikan Ratu Kalinyamat, sedangkan Pangeran
Yusuf menggantikan Fatahillah
di Banten.
Pangeran Yusuf melanjutkan usaha-usaha perluasan daerah yang sudah dilakukan ayahandanya. Tahun 1579,
daerah-daerah yang masih setia pada
Pajajaran ditaklukkan. Untuk kepentingan ini Pangeran Yusuf memerintahkan membangun kubu-kubu
pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf
meninggal dan digantikan oleh puteranya, yang bernama Maulana Muhammad. Pada
1596, Maulana Muhammad melancarkan
serangan ke Palembang. Pada waktu itu Palembang
diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572 - 1627). Ki Gede ing Suro adalah seorang
penyiar agama Islam dari Surabaya
dan perintis perkembangan pemerintahan kerajaan Islam di Palembang. Kala itu Kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram
dan sekaligus merupakan saingan
Kerajaan Banten. Itulah
sebabnya, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang.
Kerajaan Palembang dapat dikepung dan
hampir saja dapat
ditaklukkan. Akan tetapi,
Sultan Maulana Muhammad tiba-tiba
terkena tembakan musuh dan
meninggal. Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing
Palembang. Serangan tentara Banten
terpaksa dihentikan,bahkan akhirnya ditarik mundur kembali ke Banten. Gugurnya Maulana Muhammad menimbulkan berbagai perselisihan di istana. Putra Maulana Muhammad yang bernama
Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak- kanak. Pemerintahan dipegang oleh sang Mangkubumi. Akan tetapi, Mangkubumi berhasil disingkirkan oleh
Pangeran Manggala. Pangeran Manggala berhasil mengendalikan kekuasaan di
Banten. Baru setelah Abumufakir
dewasa dan Pangeran Manggala meninggal tahun 1624,
maka Banten secara penuh diperintah oleh Sultan
Abumufakir Mahmud Abdul Kadir.
Pada tahun 1596 orang-orang Belanda datang di pelabuhan
Banten untuk yang pertama kali. Terjadilah perkenalan dan pembicaraan dagang yang pertama antara orang-orang Belanda dengan para pedagang Banten. Tetapi
dalam perkembangannya, orang-orang Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan
mulai menimbulkan kekacauan di
Banten. Oleh karena
itu, orang-orang Banten menolak dan
mengusir orang-orang
Belanda. Akhirnya, orang-orang Belanda
kembali ke negerinya. Dua tahun kemudian,
orang- orang Belanda datang lagi.
Mereka menunjukkan sikap yang baik, sehingga
dapat berdagang di Banten dan di
Jayakarta. Menginjak abad ke-17
Banten mencapai zaman keemasan. Daerahnya cukup luas.
Setelah Sultan Abumufakir meninggal, ia
digantikan oleh puteranya bernama
Abumaali Achmad. Setelah Abumaali Achmad, tampillah sultan yang terkenal, yakni Sultan
Abdulfattah atau yang lebih dikenal
dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah pada tahun 1651 - 1682.
Pada masa pemerintahan
Sultan Ageng Tirtayasa, Banten terus mengalami kemajuan. Letak Banten yang strategis mempercepat
perkembangan dan kemajuan ekonomi Banten.
Kehidupan sosial budaya juga
mengalami kemajuan. Masyarakat
umum hidup dengan rambu-rambu budaya Islam.
Secara politik
pemerintahan Banten juga semakin kuat. Perluasan wilayah kekuasaan terus
dilakukan bahkan sampai ke daerah yang pernah
dikuasai Kerajaan Pajajaran. Namun ada
sebagian masyarakat yang
menyingkir di pedalaman Banten Selatan
karena tidak mau
memeluk agama Islam. Mereka tetap
mempertahankan agama dan
adat istiadat nenek moyang.
Mereka dikenal dengan masyarakat Badui. Mereka
hidup mengisolir diri di tanah yang
disebut tanah Kenekes. Mereka menyebut dirinya orang-orang Kejeroan.Dalam bidang kebudayaan, seni bangunan mengalami perkembangan.
Beberapa jenis bangunan yang masih tersisa, antara lain,
Masjid Agung Banten, bangunan keraton dan gapura-gapura.
Pada masa akhir
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik di dalam istana.
Sultan Ageng Tirtayasa yang
berusaha menentang VOC, kurang disetujui
oleh Sultan Haji sebagai raja muda. Keretakan di dalam istana ini dimanfaatkan
VOC dengan politik devide et impera. VOC membantu Sultan Haji untuk mengakhiri
kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng
Tirtayasa membuat semakin kuatnya kekuasaan VOC di Banten. Raja-raja yang berkuasa berikutnya,
bukanlah raja-raja yang
kuat. Hal ini membawa kemunduran
Kerajaan Banten.
Komentar
Posting Komentar